Kerucut dan Jejak Peristiwa

Alyauma nakhtimu ‘alaa afwaahihim, wa tukallimunaa aidhihim, wa tasyhadu arjuluhum bimaa kaanu yaksibuun” (Yaasiin:65)

Banyak orang meragukan arti mendalam dari ayat di atas, terutama yang mempertanyakan bagaimana hal tersebut bisa terjadi, padahal menurut pengalaman (fakta empiris) tidak mungkin tangan “berbicara” apalai kaki “bersaksi”? tentu saja terutama kalau menggunakan makna tekstual.

Mari sejenak kita menelaah ide yang dibawa oleh Pak Stephen Hawkins di bukunya Sejarah Sang Kala (A Brief History of Time), dia memperkenalkan tentang konsep “kerucut peristiwa” untuk menggambarkan sejarah dalam waktu imaginer, Hawkins menggambarkan bagaimana tiap materi bergerak di alam semesta mengikuti pola kerucut jelajah cahaya di dalam ruang-waktu, dan ia menjelaskan alasan mengapa waktu tidan berjalan “mundur” namun terkesan seakan-akan maju ke “depan” mengikuti azas entropi (keacakan) yang bersifat menyebar/meluas di semesta ini (itulah mengapa digambarkan sebagai kerucut terbalik, di mana titik ujung kerucut digambarkan sebagai awal peristiwa).

Ide kerucut peristiwa Hawkins menumbuhkan tiga hal yang bisa disimpulkan, yaitu:

  • entropi yang bersifat menyebar/meluas mengisyaratkan bahwa setiap kejadian/peristiwa di alam semesta ini-pun bersifat menyebar dan meluas (contoh, setiap ledakan bom selalu bersifat menyebar), tidak terkecuali peristiwa apapun itu;
  • oleh karena peristiwa yang sifatnya menyebar, maka peristiwa dapat mempengaruhi peristiwa yang lain, yang dapat menyebabkan peristiwa berantai, contoh peristiwa penyebaran endemik penyakit menular, HIV misalkan;
  • peristiwa akan selalu meninggalkan jejak di alam, karena peristiwa masa lalu bersifat mempengaruhi peristiwa masa kini, sehingga setip peristiwa masa lalu dapat dilaca dengan menggunakan pola kerucut peristiwa masa kini.

Contoh aktivitas yang memanfaatkan jejak peristiwa ini adalah seorang dokter forensi yang mencoba menyelidiki peristiwa pembunuhan masa lalu dengan hanya menyimpulkan dari bukti-bukti tulang-belulang sang korban yang tersisa di masa kini, dokter tersebut mencoba menelaah sejauh mana barang bukti yang ia tangani “berbicara” untuk digunakan sebagai “saksi”  atas peristiwa yang terjadi pada sang korban.

Jika dokter forensik tersebut, hanya dengan bukti-bukti terbatas dapat mewakili sang korban untuk “menjadi saksi” mengikuti bagaiman sang korban yang tersisa “bersaksi”, bukankah sangat mungkin sekali jika Allah SWT yang Maha Mengetahui dengan mudahnya mengungkapnya sebagaiman yang diisyaratkan di ayat di atas?

Akhir kata, mudah-mudahan renungan ini bisa memberikan wawasan bahwa secara tidak sengaja kita, detik demi detik sebenarnya telah membangun Jejak Peristiwa di setiap tindakan kita, sehingga semakin dapat menyadarkan diri kita betapa Dia Maha Mengawasi segala tindakan kita, dan suatu saat, akan mengadili setiap apa yang telah kita lakukan di waktu yang telah Dia berikan kepada kita.

Wassalam.

Leave a comment